Kerja keras, LED biru dan Hadiah Nobel Fisika

Isamu Akasaki, Hiroshi Amano dan Shuji Nakamura

Isamu Akasaki, Hiroshi Amano dan Shuji Nakamura

7 Oktober 2014 adalah hari yang tak akan pernah dilupakan oleh tiga fisikawan Jepang Isamu Akasaki, Hiroshi Amano dan Shuji Nakamura. Pada hari itu Profesor Staffan Normark, sekretaris permanen Akademi Sains Kerajaan Swedia, secara resmi mengumumkan mereka sebagai penerima hadiah Nobel bidang Fisika tahun 2014 atas penemuan mereka terhadap dioda pemancar-cahaya (LED) biru yang memungkinkan adanya sumber cahaya putih yang terang dan hemat energi.

Penerima hadiah nobel tahun ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang dianugerahkan pada fisikawan yang berkontribusi pada bidang riset fisika fundamental yang dampaknya pada masyarakat tidak secara langsung dapat dirasakan, seperti fisikawan Peter Higgs dan Francois Englert yang dianugerahi hadiah nobel tahuan 2013 atas kontibusi teoritis mereka terhadap mekanisme Higgs yang terkonfirmasi melalui eksperimen super besar di laboratorium pemercepat partikel CERN. Hadiah nobel fisika tahun 2014 dianugerahkan pada penemu yang hasil temuannya telah mempunyai dampak bagi masyarakat dalam kurun waktu 20 tahun sejak ditemukan, yaitu dioda pemancar cahaya (light emitting diode/LED) biru. Sesuai dengan harapan Alfred Nobel yang menganugerahkan hadiah kepada penemu-penemu yang memiliki kontribusi luas bagi masyarakat.

Revolusi pencahayaan

Dioda pemancar-cahaya biru (sumber foto: LED macro blue oleh outlaw_wolf

Dioda pemancar-cahaya biru (sumber foto: LED macro blue oleh outlaw_wolf)

Pencahayaan adalah kebutuhan utama bagi manusia, tanpa pencahayaan manusia akan kesulitan dan dibatasi dalam melakukan aktivitas. Sumber cahaya alami yang kita miliki adalah matahari dan ketika malam tiba sumber cahaya buatan dibutuhkan agar kita tetap dapat beraktivitas saat matahari tenggelam. Seperti halnya saat Thomas Edison menemukan lampu bohlam pada 1879 [1] dan membantu aktivitas kita dan memperindah dunia ketika matahari kita tenggelam, penemuan LED biru seakan awal dari era baru bagi pencahayaan yang membuat dunia kita lebih indah, berwarna dan lebih mudah.

LED biru benar-benar telah merevolusi dunia kita secara tidak kita sadari, ketika saya mengetikkan artikel ini atau ketika anda membaca artikel ini melalui layar datar laptop anda, kita sedang menikmati hasil kerja keras dari ketiga fisikawan yang baru saja dianugerahi hadiah nobel. Hasil pengembangan dari temuan mereka kita gunakan sehari-hari di layar smartphone atau tablet kita, lampu terang hemat energi yang mulai banyak digunakan sebagai solusi bagi masalah lingkungan dan krisis energi adalah juga buah dari kerja keras ketiga orang ini.

Cahaya LED biru memungkinkan dibuatnya sumber cahaya putih terang dengan konsumsi energi yang jauh lebih sedikit dari sumber-sember cahaya lainnya seperti bohlam dan lampu neon[1]. Cahaya putih dimungkinkan untuk dibangkitkan dengan mengeksitasi fosfor yang akan menghasilkan cahaya hijau dan merah, yang jika dikombinasikan dengan cahaya biru dari LED biru akan dihasilkan cahaya putih yang cerah [1].

Dengan konsumsi daya yang lebih rendah untuk kecerahan yang lebih tinggi (300 lm/W), dibandingkan lampu neon 70 lm/W, lampu LED dapat menjadi solusi atas krisis energi dan masalah penerangan di daerah-daerah terpencil karena lampu LED dapat menyala dangan sumber energi dangan kapasitas daya yang kecil seperti sel surya[1]. Penemuan yang baru berumur dua dekade ini sudah mampu mengubah wajah dunia kita menjadi jauh lebih indah dari sebelumnya.

Dioda pemancar-cahaya (LED)

Teknologi yang digunakan dalam LED adalah teknologi yang serupa dengan yang ada di peralatan elektronik seperti radio, komputer dan telepon genggam. Teknologi itu adalah bahan semikonduktor. LED adalah sumber cahaya berbasis zat padat, tidak seperti lampu neon yang berbasis gas. LED secara mudah dapat digambarkan sebagai perangkat yang tersusun atas dua buah lapisan bahan semikonduktor dengan pembawa muatan mayoritas yang berbeda. Satu bahan semikonduktor dengan pembawa muatan mayoritas negatif (elektron), disebut tipe-n, dan yang lain dengan pembawa muatan mayoritas bermuatan positif (hole), disebut tipe-p. Kedua bahan semikonduktor ini dihubungkan satu sama lain pada salah satu ujungnya sehingga terbentuk sambungan dimana pada sambungan inilah foton-foton (paket cahaya) dibangkitkan.

Ketika kedua sambungan tipe-p dan tipe-n ini diberi daya listrik, elektron dan hole akan memperoleh energi untuk bergerak dari ujung bahan semikonduktor masing-masing menuju ke sambungan yang mengakibatkan keduanya mengalami rekombinasi dan cahaya dihasilkan. Spektrum warna cahaya yang dihasilkan bergantung dari bahan yang digunakan.  Bahan semikonduktor yang digunakan dalam LED adalah bahan khusus yang memiliki sifat khusus yang memungkinkan energi listrik diubah menjadi cahaya secara efisien. Bahan ini biasanya berupa paduan dari elemen-elemen dalam grup III dan V dalam tabel periodik unsur seperti GaAs (Gallium Arsenide). Khusus untuk LED biru bahan yang digunakan berbasis GaN (Gallium Nitride).

sambungan p-n pada dioda pemancar-cahaya

sambungan p-n pada dioda pemancar-cahaya (sumber gambar: wikimedia commons)

Kerja keras berbuah hadiah Nobel

Untuk dapat meghasilkan LED yang memancarkan warna biru bukan hal yang mudah untuk dilakukan semudah membalik telapak tangan. Setidaknya dibutuhkan waktu tiga dekade sampai LED biru yang efisien ditemukan. Penemuan LED terutama dipicu oleh ditemukannya transistor sambungan p-n di Laboratorium Bell sekitar tahun 1940-an. Sekitar tahun 1950-an LED yang memancarkan spektrum warna mulai darai merah sampai hijau berhasil ditemukan, dan mulai banyak diproduksi masal pada tahun 1960-an [2]. Setelah itu selama kurang lebih tiga dekade, LED dengan warna biru tak kunjung ditemukan.

Banyak hal yang menjadi penghalang mengapa LED biru tak kunjung ditemukan, pertama adalah tidak kunjung berhasilnya penumbuhan kristal GaN dengan kualitas yang baik. Banyak peneliti telah mencoba dengan berbagai teknik untuk menumbuhkan kristal GaN tapi tak kunjung berhasil, baru pada tahun 1986 melalui serangkaian eksperimen dan observasi panjang selama kurang lebih 10 tahun Isamu Akasaki dan muridnya Hiroshi Amano di Nagoya University berhasil menumbuhkan kristal GaN dengan kualitas sangat baik melalui teknik MOVPE (Metalorganic Vapour Phase Epitaxy). Di tempat terpisah Shuji Nakamura juga berhasil menumbuhkan kristal GaN dengan kualitas yang sama baiknya dengan mengembangkan metode yang sama. Sebuah langkah awal yang baik dalam pengembangan LED biru.

Masalah selanjutnya adalah bagaimana mengontrol jenis pembawa muatan untuk GaN, ini menentukan apakah semikonduktor yang dihasilkan bertipe-p atau -n. Proses ini disebut dengan doping. Di akhir tahun 1980-an, Amano, Akasaki dan rekan berhasil melakukan kontrol pembawa muatan melalui doping Zn (Zinc) dan Mg (Magnesium) yang diiradiasi dengan elektron. Temuan ini berhasil dijelaskan oleh Shuji Nakamura dan rekan beberapa tahun kemudian. Setelah itu usaha terus dilakukan oleh Akasaki, Amano dan Nakamura untuk menghasilkan LED biru dengan efisiensi yang lebih baik. Puncaknya, pada tahun 1995-1996 tim Akasaki dan tim Nakamura berhasil mengamati emisi laser biru berbasis GaN [2].

Melalui Perjuangan panjang dan melelahkan Akasaki, Amano dan Nakamura berhasil mengembangkan LED biru yang merevolusi dunia dan buah dari kerja keras mereka selama puluhan tahun adalah penghargaan paling prestisius untuk karya mereka yang berdampak luas bagi masyarakat dunia, hadiah Nobel bidang Fisika tahun 2014. Kerja keras, kegigihan dan semangat adalah kunci dari keberhasilan mereka, dalam konferensi pers di Nagoya University pada hari yang sama setelah diumumkan sebagai penerima hadiah Nobel Isamu Akasaki mengungkapkan, seperti dikutip dari Science Insider, “People thought [a blue LED] wouldn’t be achieved during the 20th century. Other researchers gave up, but I didn’t think of doing so, I was doing what I liked,”. "Orang berpikir bahwa LED biru tidak akan tercapai selama abad ke-20. Peneliti lain menyerah, tapi saya tidak berpikir demikian, saya melakukan apa yang saya senangi." 

 

Referensi:

[1]  Lars Bergström, Per Delsing, Anne L’Huillier and Olle Inganäs, the Nobel Committee for Physics, "Blue LEDs – Filling the world with new light", The Nobel Prize in Physics 2014 Popular Science Background, The Royal Swedish Academy of Science. Tersedia di: http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/physics/laureates/2014/popular-physicsprize2014.pdf

[2] The Class for Physics of the Royal Swedish Academy of Sciences, "Efficient blue light-emitting diodes leading to bright and energy-saving white light sources", Scientific Background on the Nobel Prize in Physics 2014, The Royal Swedish Academy of Science. Tersedia di: http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/physics/laureates/2014/advanced-physicsprize2014.pdf

[3] http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/physics/laureates/2014/

Kontributor: Dwi Prananto

Avatar

Dwi Prananto

Menyelesaikan Sarjana Teknik Fisika di ITS (2010), Master bidang Fisika Material Terkondensasi di Tohoku University (2013) dan PhD bidang Ilmu Material di JAIST (2019). Saat ini bekerja sebagai staf peneliti di Niigata University, Jepang.

You may also like...

1 Response

  1. Avatar bimbo says:

    artikel mengenai komponen elektronika berkaitan dengan dioda pemancar cahaya cukup menarik. Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai ilmu elektronika hanya untuk sharing saja, kunjungi di http://www.elektronika.gunadarma.ac.id

Leave a Reply to bimbo Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA Image

*