Mengenal fenomena superkonduktivitas
Kita semua mengenal konduktor sebagai bahan yang dapat menghantarkan listrik. Bahan konduktor dapat kita temukan di berbagai peralatan listrik yang kita gunakan sehari-hari. Pada logam-logam yang biasa digunakan sebagai konduktor seperti Tembaga, elektro-elektron yang mengalir di dalamnya tidak serta-merta mengalir dengan lancar tanpa hambatan, elektron-elektron di dalam bahan konduktor bertumbukan dengan ion-ion bermuatan postif dan berakibat pada dilepaskannya energi panas. Hambatan ini mengakibatkan tidak seluruhnya energi listrik dapat dilewatkan dalam bahan konduktor karena sebagian energinya diubah dan dilepaskan dalam bentuk energi panas. Dalam pembahasan fisika dasar kita mengenal hambatan ini sebagai resistansi, yang secara mudah dideskripsikan oleh hukum Ohm.
Bebas hambatan

Grafik hasil pengukuran yang dilakukan Heike Kamerlingh Onnes terhadap Raksa yang dilakukan pada tahun 1911. Sumbu vertikal menunjukkan resistivitas dan sumbu horizontal menunjukkan temperatur. Dapat terlihat di grafik resistivitas secara mendadak menjadi nol pada temperatur 4,2 K.
Dalam fisika dikenal suatu fenomena yang dinamakan superkonduktivitas. Dari namannya, kata "super" selalu identik dengan sesuatu yang memiliki sifat atau kemampuan di atas kebiasaan, jadi secara mudah superkonduktivitas dapat diartikan sebagai fenomena dimana pada bahan tertentu hambatan di dalamnya hilang sama sekali sehingga elektron-elektron dapat mengalir dengan lancar tanpa bertumbukan dengan ion-ion positif. Fenomena superkonduktivitas pertama kali diamati oleh seorang fisikawan asal Belanda bernama Heike Kamerlingh Onnes pada tahun 1911. Sebelumnya, pada tahun 1890 dan 1906 Onnes menemukan suatu teknik untuk mengubah gas Hidrogen dan Helium menjadi zat cair pada temperatur yang sangat rendah. Teknik ini memungkinkan Onnes untuk melakukan percobaan pada temperatur yang sangat rendah.
Onnes melakukan percobaan untuk mengamati hambatan dalam logam Raksa (Hg) padat pada temperatur yang sangat rendah. Pada waktu itu banyak orang percaya bahwa pada temperatur yang sangat rendah elektron-elektron yang mengalir dalam sebuah konduktor akan sepenuhnya berhenti, yang artinya hambatan pada konduktor akan sangat besar. Ternyata hasil pengamatan Onnes mengungkap hal yang berkebalikan dari apa yang dipercaya kebanyakan orang pada saat itu, pada temperatur 4,2 K (268,95
C) hambatan dalam Raksa secara mendadak hilang. Ini artinya pada temperatur 4,2 K dan temperatur yang lebih rendah elektron-elektron dalam Raksa mengalir dengan lancar tanpa mengalami tumbukan dengan ion-ion positif. Onnes menamai fenomena ini sebagai "supraconductivity", yang kemudian diadopsi menjadi "superconductivity". Temperatur ketika suatu bahan kehilangan hambatannya disebut sebagai temperatur kritis atau
. Setelah penemuan fenomena superkonduktivitas pada Raksa, diketahui bahwa fenomena ini juga muncul pada logam lain serta paduan logam dengan
yang bervariasi.
Elektron yang berpasangan
Setelah penemuan fenomena superkonduktivitas oleh Kamerlingh Onnes fisikawan mulai bertanya-tanya apa sebenarnya yang terjadi di dalam logam yang didinginkan pada temperatur yang sangat rendah sehingga mengakibatkan hilangnya hambatan listrik pada logam tersebut. Berpuluh-puluh tahun usaha untuk memahami superkonduktivitas dilakukan oleh banyak fisikawan, baru pada tahun 1957 melalui tiga orang fisikawan berkebangsaan Amerika Serikat fenomena superkonduktivitas menemukan penjelasannya.
Adalah John Bardeen, Leon Cooper, dan John Schrieffer yang mencetuskan sebuah teori yang dapat menjelaskan fenomena superkonduktivitas. Teori ini dikenal sebagai teori BCS (Bardeen-Cooper-Schrieffer). Dalam teori BCS hilangnya hambatan dalam bahan superkonduktor muncul akibat adanya pasangan elektron yang bergerak secara koheren. Gerak koheren dapat dibayangkan seperti barisan tentara yang bergerak secara seragam dengan jarak antar tentara yang tetap selama berpindah posisi. Pasangan elektron, disebut Cooper pair, terbentuk ketika elektron bergerak melalui kisi-kisi (kisi atau lattice adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut atom-atom yang tersusun teratur) ion-ion bermuatan positif.
Elektron berinteraksi dengan ion-ion bermuatan positif di sekitarnya dan mengakibatkan kisi ion positif mengalami sedikit penyimpangan dari posisi asalnya. Penyimpangan ini akan bertahan beberapa saat, sama halnya jika kita membayangkan lonceng yang dipukul pada satu sisinya sehingga lonceng berayun beberapa saat. Akibat penyimpangan posisi ion-ion positif, jarak antar ion-ion positif memendek sehingga mengakibatkan peningkatan rapat muatan positif di daerah di sekitar ion-ion positif yang mengalami penyimpangan. Peningkatan rapat muatan positif ini menjadi sumber gaya tarik yang membuat elektron lain mendekat . Dua interaksi ini, elektron 1 dengan ion-ion positif dan ion-ion positif dengan elektron 2, jika saat dan keadaannya tepat akan menyebabkan dua elektron berinteraksi saling tarik-menarik sehingga terbentuk pasangan elektron atau Cooper pair. Dalam bahan superkonduktor terdapat banyak sekali pasangan elektron, pasangan-pasangan elektron ini akan bergerak secara koheren ketika terdapat beda potensial. Gerakan kolektif elektron pada superkonduktor memungkinkannya bergerak tanpa hambatan dan tanpa ada energi yang terbuang dalam bentuk panas.
Teori BCS membawa John Bardeen, Leon Copper, dan John Schrieffer menuju Stockholm untuk menerima hadiah Nobel Fisika pada tahun 1972.
Melayang di udara
Selain fenomena hilangnya hambatan listrik pada temperatur rendah bahan superkonduktor juga memunculkan fenomena tidak biasa lainnya. Fenomena ini menyebabkan bahan superkonduktor dapat melayang-lanyang di udara jika diletakkan di atas magnet. Ketika bahan superkonduktor ditempatkan di atas bahan magnet dengan medan magnet yang lemah kemudian didinginkan hingga mencapai temperatur kritisnya, bahan superkonduktor akan melayang di udara akibat tidak adanya medan magnet yang dapat menembus bahan superkonduktor. Pada temperatur di atas , medan magnet dapat menembus bahan superkonduktor, akan tetapi ketika superkonduktor didinginkan hingga mencapai temperatur kritisnya elektron-elektron pada permukaan bahan superkonduktor bergerak sehingga menimbulkan arus listrik.

Ilustrasi efek Meissner. Pada saat temperatur di atas temperatur kritis Tc medan magnet (garis biru) dapat menembus bahan superkonduktor (bola abu-abu), akan tetapi ketika temperatur diturunkan hingga lebih rendah dari Tc medan magnet internal tambahan (garis merah) akan mucul pada permukaan bahan superkonduktor yang menyebabkan medan magnet eksternal tidak dapat menembus bahan superkonduktor.
Munculnya arus listrik ini mengakibatkan munculnya medan magnet tambahan pada permukaan bahan superkonduktor yang arahnya berlawanan dengan arah medan magnet ekseternal yang ditimbulkan bahan magnet, medan magnet pada permukaan inilah yang menyebabkan tidak dapat menembusnya medan magnet dari luar ke dalam bahan superkonduktor. Gaya magnet dari luar ini mengangkat bahan superkonduktor ke udara sehingga menimbulkan efek pelayangan. Efek pelayangan ini pertama kali diamati oleh dua fisikawan Jerman Walther Meissner dan Robert Ochsenfeld pada tahun 1933. Efek ini kemudian lebih dikenal sebagai efek Meissner.

Bahan Superkonduktor temperatur tinggi yang melanyang di atas magnet berbentuk cincin (sumber: Julian Litzel via Wikimedia Commons)
Alat transportasi cepat dan transmisi energi listrik yang efisien
Penemuan fenomena superkonduktivitas membawa dampak positif berupa teknologi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Efek pelayangan bahan superkonduktor memungkinkan dibuatnya sarana transportasi yang lebih cepat dan efisien dalam penggunaan energi. Pada alat transportasi konvensional gesekan dengan permukaan jalan adalah salat satu penghambat laju alat transportasi, selain itu akan banyak energi yang terbuang sebagai panas ketika alat transportasi bergesekan dengan jalan. Dengan melayang sedikit di atas jalan dampak gesekan dapat dihilangkan sehingga alat transportasi dapat melaju lebih cepat dengan penggunaan energi yang lebih efisien.
Adanya bahan superkonduktor yang dapat mengalirkan arus listrik tanpa hambatan memungkinkannya untuk diguanakan sebagai pengganti konduktor tembaga yang saat ini banyak digunakan. Konduktor biasa yang digunakan pada kabel-kabel transmisi energi listrik memiliki hambatan yang mengakibatkan energi listrik yang ditransmisikannya sebagian hilang sepanjang kabel transmisi, dengan kata lain energi listrik dari pembangkit listrik akan hilang sebagian dalam perjalanan sebelum dapat dinikmati oleh pengguna energi listrik di rumah-rumah. Tidak adanya hambatan pada bahan superkonduktor memungkinkannya digunakan sebagai media transmisi energi listrik tanpa harus kehilangan banyak energi listrik sepanjang perjalanan dari pembangkit listrik ke rumah-rumah.
Beberapa penerapan teknologi superkonduktor seperti yang disebutkan sebelumnya dapat terwujud jika bahan superkonduktor dapat bekerja pada temperatur yang tinggi. Walaupun demikian beberapa teknologi telah memanfaatkan bahan superkonduktor seperti MRI (magnetic resonance imaging) yang memanfaatkan magnet superkonduktor untuk pencitraan organ dalam biologis. Riset untuk mencari bahan superkonduktor yang dapat bekerja pada temperatur tinggi dan usaha untuk menjelaskannya terus dilakukan hingga saat ini. Untuk saat ini bahan superkonduktor temperatur tinggi yang ada dapat bekerja di temperatur sekitar 133 K ( 140,15
C) - 190 K (
83,15
C).
Referensi
[1] F. Close, The infinity puzzle: quantum field theory and the hunt for an orderly universe, USA: Basic Books, 2013
[2] Nobelprize.org. Nobel Media AB 2014. Web. 18 Sep 2015. <http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/physics/laureates/1972/presentation-speech.html>
[3] J. Bardeen, L. N. Cooper, J. R. Schrieffer, Theory of superconductivity, Phys. Rev. 108, 1175 (1957).
[4] CCAS, Superconductivity, present and future applications, tersedia di: http://www.ccas-web.org/pdf/ccas_brochure_web.pdf
[5] C. Kittel, Introduction to solid state physics, USA: John Willey & Sons Inc., 2005.